Amalan apa saja yang terlarang dan boleh dilakukan wanita saat sedang haid?
Bolehkah wanita haid membaca
dan meneyentuh Al-Qur’an saat haid?
Lalu, bagaimana solusi
membaca Al-Qur’an bagi wanita haid saat puasa ramadhan?
Kita bahas terlebih dahulu tentang 6 Amalan ibadah yang dilarang bagi wanita haid dalam
syariat, diantaranya;
1) Shalat
Dari Abu Said radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
“Bukankah bila si wanita haid ia
tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no.
1951 dan Muslim no. 79)
2) Puasa
Sebagaimana
disebutkan dalam hadis Abu Said radhiyallahu ‘anhu di atas.
3) Thawaf di Ka’bah
Aisyah pernah mengalami haid ketika
berhaji. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan
kepadanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah segala sesuatu yang
dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga
engkau suci.” (HR.
Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
4) Menyentuh mushaf
Orang yang berhadats (hadats besar
atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruhnya ataupun hanya
sebagian. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah
firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Dalil lainnya adalah sabda Nabi
‘alaihish shalaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an
kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
5) I’tikaf
Inilah adalah pendapat mayoritas
ulama dari madzhab Maliki, Syafii, dan Hambali. Sementara madzhab Hanafi
menyatakan bahwa i’tikaf wanita haid tidak sah, karena mereka mempersyaratkan
orang yang I’tikaf harus dalam keadaan puasa di siang harinya. Sementara wanita
haid, tidak boleh puasa.
Pendapat yang berbeda dalam hal ini
adalah madzhab Zahiriyah.
Pendapat yang lebih kuat dalam hal
ini adalah pendapat mayoritas ulama bahwa wanita haid tidak boleh melakukan
I’tikaf. Dalilnya, firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُباً إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi…(QS. An-Nisa: 43).
6) Hubungan intim
Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.” (QS. Al Baqarah: 222
Sudah diketahui bahwa orang yang berhadats termasuk
pula wanita haidh tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an. Padahal orang yang
berhadats besar masih boleh membaca tanpa menyentuh.
Bagaimana solusinya untuk wanita haidh agar bisa
membaca Al-Qur’an?
Dua solusi yang bisa diberikan:
a)
Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara
langsung
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
yang pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Saudi Arabia berkata,
“Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an menurut
pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang
melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al-Qur’an tersebut tidak sampai
menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau
memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas
seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen.).
Demikian pula untuk menulis Al-Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka
diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa
Ibnu Baz, 10: 209-210)
b) Membaca Al-Qur’an terjemahan
Imam Nawawi rahimahullah
dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak
kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir
semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat,
kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Jika yang disentuh adalah Al Qur’an
terjemahan dalam bahasa non-Arab, maka tidak disebut mushaf yang disyaratkan
dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku
seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh
karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti itu karena
hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya
dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats.
Selain enam jenis ibadah di atas, masih banyak amalan
ibadah yang bisa dilakukan wanita haid. Diantaranya:
- Membaca
Al-Quran tanpa menyentuh lembaran mushaf. InsyaaAllah, ini pendapat yang
lebih kuat. Penjelasan selengkapnya bisa anda pelajari di: Hukum Wanita Haid Membaca Al-Quran.
- Boleh
menyentuh ponsel atau tablet yang ada konten Al-Qurannya. Karena benda
semacam ini tidak dihukumi Al-Quran. Sehingga, bagi wanita haid yang ingin
tetap menjaga rutinitas membaca Al-Quran, sementara dia tidak memiliki
hafalan, bisa menggunakan bantuan alat, komputer, atau tablet atau
semacamnya.
- Berdzikir
dan berdoa. Baik yang terkait waktu tertentu, misalnya doa setelah adzan,
doa seusai makan, doa memakai baju atau doa hendak masuk WC, dll.
- Membaca
dzikir mutlak sebanyak mungkin, seperti memperbanyak tasbih (subhanallah),
tahlil (la ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah), dan zikir lainnya.
Ulama sepakat wanita haid atau orang junub boleh membaca dzikir. (Fatawa
Syabakah Islamiyah, no. 25881)
- Belajar
ilmu agama, seperti membaca membaca buku-buku islam. Sekalipun di sana ada
kutipan ayat Al-Quran, namun para ulama sepakat itu tidak dihukumi
sebagaimana Al-Quran, sehingga boleh disentuh.
- Mendengarkan
ceramah, bacaan Al-Quran atau semacamnya.
- Bersedekah,
infak, atau amal sosial keagamaan lainnya.
- Menyampaikan
kajian, sekalipun harus mengutip ayat Al-Quran. Karena dalam kondisi ini,
dia sedang berdalil dan bukan membaca Al-Qur’an.
Dan masih banyak amal ibadah lainnya yang bisa menjadi
sumber pahala bagi wanita haid. Karena itu, tidak ada alasan untuk bersedih
atau tidak terima dengan kondisi haid yang dia alami.
Sumber:
2) Ustadz M. Abduh Tuasikal (www.rumaysho.com)