Kamis, 30 Juni 2016

Iman Tak Dapat Diwariskan, Tapi Harus Dicari dan Diusahakan



                                      Sumber: Facebook Fanspage Ustadz Felix Siauw


                                           Sumber: Google Image

Terkadang kita menyalahkan kepada ustadz, kyai, atau kedudukan ayah sebagai orang yang berpegaruh dalam agama di masyarakat, kenapa kok bisa anaknya tidak menggambarkan sosok orangtuanya. Atau sebaliknya anaknya sholeh tapi ayah atau orangtuanya kontras dengan kesholehan anaknya. Kalau kita paham hakikat iman, bahwa ia tidak dapat diwarisi tetapi harus dicari dan diusahakan dengan beramal shalih maka kita takkan menyalahkan mereka.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Qashash: 56).
Beberapa contoh kisah para nabi  menunjukkan bahwa selevel nabi saja tidak mampu mengajak anggota keluarganya masuk Islam dan beriman.
Anak nabi Nuh durhaka kepada Allah dan menentang ajaran ayahnya sendiri. Ayahnya tidak mampu mewariskan iman kepada anaknya tersebut. sampai akhirnya buah hatinya mati bersama kaum yang durhaka.
Allah juga berfirman tentang keingkaran Azar ayah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam:
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” [QS. At-Taubah:114].
Dan Allah pun berfirman tentang istri Nabi Luth sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab Allah:
Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). [QS. Al-A’raf : 83].
Tidak terkecuali hal itu terjadi pada kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Mereka berdua – sesuai dengan kehendak kauni Allah ta’ala – mati dalam keadaan kafir. Hal itu ditegaskan oleh beberapa nash di antaranya :
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Sababun-Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Allah ta’ala untuk memintakan ampun ibunya (namun kemudian Allah tidak mengijinkannya) [Lihat Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir QS. At-Taubah : 113].

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga tidak mampu mengislamkan Abu Thalib pamannya.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, dari Ibnul Musayyab, bahwa bapaknya berkata:
Ketika Abu Thalib akan meninggal dunia, maka datanglah Rasulullah, dan pada saat itu Abdullah bin Abi Umayyah, dan Abu Jahal ada di sisinya, lalu Rasulullah bersabda kepadanya: “Wahai pamanku, ucapkanlah “La Ilaha Illallah” kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu di hadapan Allah.”
Tetapi Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahal berkata kepada Abu Thalib: “Apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”
 Kemudian Rasulullah mengulangi sabdanya lagi, dan mereka berduapun mengulangi kata-katanya pula, maka ucapan terakhir yang dikatakan oleh Abu Thalib adalah bahwa ia tetap masih berada pada agamanya Abdul Muthalib, dan dia menolak untuk mengucapkan kalimat La Ilaha Illallah.
Kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh akan aku mintakan ampun untukmu pada Allah, selama aku tidak dilarang.”
Lalu Allah menurunkan firmanNya: “Tidak layak bagi seorang Nabi serta orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” (QS Al Bara’ah: 113)
Dalam kisah lain pada masa Rasulullah, Abdullah, anak dari Abdullah bin ubay, ketua gembong munafiqin di Madinah yang telah banyak merugikan Rosulullah dan kaum muslimin di sana, dengan usahanya thalabul ilmu dan mengamalkan apa yang didapatkannya, anak pemimpin dari munafiq ini berbeda sifat dengan ayahnya. Riya’, khianat, membenci Rosul dan para sahabatnya, mengadu domba diantara kaum muslimin, melemahkan semangat ketika perang, dan amalan yang berbeda jauh dengan yang dihati, seharusnya amalan itu semua ia miliki. Tetapi Allah berkehendak lain, ia tumbuh dalam kandang srigala berbaju domba, tetapi ia menjadi muslim berpribadi yang taat kepada Allah dan Rosulnya. Ayahnya berusaha menghancurkan islam, tetapi ia berusaha menjaga islam sampai tetes darah penghabisan.
Kalaupun ada yang beranggapan iman dapat diwarisi, seharusnya Nabi Ibrahim mengikuti jejak ayahnya yang membuat patung dan menyembahnya. Anak nabi Nuh ikut dalam kapal bersama orang yang selamat dari banjir bandang. Dan semua orang akan terwarisi iman kepada nenek moyang mereka baik yang selamat maupun yang celaka. Jika keadaan seperti itu, seberapapun usaha manusia mencari iman, akan sia-sia. Yang bapaknya shalih, anaknya tidak akan susah payah untuk mengikuti jejak ayahnya. Yang bapaknya pendosa, anaknya akan bernasib buruk karena terwarisi iman ayahnya. Akhirnya terlihat ada ketidakadilan dalam kehidupan seperti itu. Karena nasib baik dan buruk di akherat tergantung dari iman yang dimiliki setiap hamba.
Saat ini di Indonesia, beberapa ulama, tokoh ataupun pesohor di negeri ini menjadi salah satu bukti bahwa Islam dan iman itu bukan diwarisi dari keturunan/orangtua, menjemput hidayah taufik tidak tergantung siapa orangtuanya.
Salah seorang ustadz ternama Indonesia Ustadz  Felix Siauw adalah ustadz  yang lahir dari keluarga non muslim keturunan etnis tionghoa, beliau menjadi muallaf ketika masih kuliah. Dan sampai sekarang masih aktif mengemban dakwah sebagai seorang ustadz dan penulis buku-buku Islami.
Berbeda dengan pesohor yang satu ini, host Mata Najwa; Najwa Shihab, memicu pertanyaan publik  kenapa ia tidak mengenakan jilbab padahal ia berasal dari keturanan keluarga Arab dan putri dari seorang ulama kondang, ahli tafsir, mantan rektor sekaligus mantan Menteri Agama Republik Indonesia era Soeharto, Prof. Dr. Quraisy Shihab yang wajahnya hingga kini masih sering tampil sejumlah di layar kaca (Tafsir Al Misbah, Metro TV).
Allah Sang Maha Adil dan Maha berkuasa atas segala sesuatu telah menjadikan iman bukan sesuatu yang diwarisi. Ia adalah harga mati yang harus dipertahankan sampai mati. Tak tergantikan dengan sekarung beras. Dan ia takkan tergantikan dengan dunia beserta isinya. Iman hanya bisa diraih bila kita kembali kepada Allah. Dengan iman Allah akan meridhoi dan memasukkan kejannah-Nya.
Marilah kita pertahankan iman ini sampai nyawa kita lepas dari badan dengan mempertahankan ketaatan dan menjauhi segala kemaksiatan. Karena iman terkadang naik dan turun.
Semoga Allah memampukan kita dalam menjaga iman sampai ajal menjemput.
Wallahu a’lam.

Sumber:
www.islampos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar