Senin, 29 Juni 2015

Mencintai Penanda Dosa

Tulisan Salim A. Fillah akan membuat kita cukup terhentak. Mengalirlah kisah penuh hikmah yang bisa membuat kita menagis, sungguh kasihannya sang shahabul hikayah yang memberanikan diri menceritakan kisah kelamnya. Dan akhirnya, dirangkai dengan indah oleh Akh Salim, lewat tulisannya berjudul “Mencintai penanda Dosa”. Tulisan beliau cukup menyentak iman, bagaimana tidak, seorang yang terkenal shalih dan shalihah dikalangan aktivis dakwah kampus, mampu jatuh ke dalam jurang dosa.. lalu bagaimana dengan kita yang masih awam?
Berikut kisahnya!
Salim A. fillah
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?

Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

 Sumber: 
 www.hidayatullah.com  Kolom “Salam Dari Salim”
http://www.kompasiana.com/deeandee/bagi-yang-senang-membuka-aib-orang-lain-berhati-hatilah_5510264ba33311a32dba8ab7
 

Minggu, 28 Juni 2015

Kisah Wahyudin ‘Pemulung Ganteng’ dari Kuliah S2 di ITB, Kini Siap Menempuh Kuliah S3 ke Luar Negeri





Hari cerah itu Wahyudin (24) tersenyum bangga bercerita akan perubahan yang dialaminya. Sebuah capaian yang mungkin siapa pun tak akan menyangka, tetapi terbukti benar adanya.


Dua tahun lalu Wahyu masih ditemui memanggul karung berisi kardus-kardus bekas yang siap dijual per kilogramnya. Sebuah profesi yang dia lakoni sejak usia 10 tahun dan duduk di bangku kelas IV Sekolah Dasar, pemulung.

Tak seperti kebanyakan anak yang barang tentu didukung orang tua untuk sekolah, Wahyu harus pikir berkali-kali untuk minta restu kedua orang tuanya untuk meneruskan jenjang SD. Saudara-saudaranya bahkan harus putus sekolah dan membantu ayahnya bekerja untuk sekedar mengisi piring.

"Saya waktu kecil SD itu mikir, 'aduh habis deh nih, kalau kakak-kakak enggak sekolah berarti saya enggak sekolah dong? Karena kan satu sumber keuangannya'. (Tapi) saya enggak mau terima nasib, saya harus keluar dari rantai kemiskinan," ungkap Wahyu saat kembali berbagi cerita di Kantor Redaksi detikcom, Warung Buncit, Jakarta Selatan, Jumat (19/6/2015).

Wahyu adalah anak sulung dari tiga bersaudara dan ibunya adalah istri kedua dari ayahnya. Dari pernikahan dengan istri pertama, ayahnya memiliki lima orang anak.

Ayahnya bekerja sebagai buruh tani yang juga melayani jasa ojek. Ibunya pun bertani dengan menggarap tanah orang yang hasilnya hanya cukup untuk makan, bukan untuk sekolah.

"Saya putusin jalan ke tetangga untuk mulung. SD kebutuhan makin besar saya tambah mulung dan gembala kambing, udah SMP tambah jualan gorengan, SMA tambah mulung, gembala kambing, mengajar les disambi on air jadi penyiar, jualan susu murni, dagang asongan di pinggir rel, semua ada 7 profesi di luar sekolah," papar Wahyu penuh semangat.

Memikul 7 profesi itu pun tak lantas membuat prestasinya mengendur. Peringkat di kelas tetap dia sabet hingga akhirnya mendapat jalan untuk berkuliah.

"Sekolah tetap dapat ranking, di S1 juga IPK saya 3,85," ujar dia.

Wahyu menempuh jenjang sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka). Dia diwisuda pada tahun 2013 dan masih berprofesi sebagai pemulung.

"Saya lulus dari Uhamka 2013 akhir, di situ saya memang sebelum lulus udah dapet beasiswa S2 duluan karena waktu itu diwawancara detikcom bulan Maret, belum lulus. Dari saya pribadi setelah muncul di detikcom itu saya banyak dikenal orang dan dari Kemendikbud datang ke rumah saya. Salah satu stafnya bilang, saya dapat beasiswa unggulan walau tanpa tes. Saya boleh kuliah di luar negeri, bebas pilih negara mana saja," tutur pemuda itu.

Waktu yang ada di angan Wahyu hanya satu hal, luar negeri pertama yang ingin dia injak adalah kota Mekah di Arab Saudi untuk beribadah. Selain itu dia tak mau dan akhirnya memutuskan untuk ambil beasiswa di dalam negeri saja.

Berkonsultasilah Wahyu kepada pihak kementerian dan itu dikabulkan. Program Magister of Bussiness Administration (MBA) ITB kampus Jakarta dia tunjuk sebagai kelanjutan dari langkahnya, namun harus melalui tes.

"Waktu saya mau ke ITB ada tes bahasa Inggris dan matematika nilainya 7,8. Toefl-nya harus 475 kalau tidak salah. Saya belum pernah tes karena orang tua sederhana, enggak pernah kursus bahasa Inggris sama sekali tiba-tiba mau S2 pelajarannya full English," kata dia.

Tapi tak ada halangan yang tak bisa dilalui, pikir dia. Mulailah Wahyu belajar bahasa Inggris di dapur dan ditemani oleh temannya yang bernama Rizky Yusuf.

Awalnya dia hanya belajar tulisan saja, sementara di perkuliahan dia butuh untuk lancar berkomunikasi. Kursus English Conversation? Mahal!

Akhirnya ketika sedang ke Pasar Jatinegara, Jakarta Timur dia melihat ada orang asing sedang berjalan-jalan dan dipandu seorang tour guide perempuan. Dia tinggalkan dulu karung memulung dan dagangan lainnya untuk 'merayu' sang tour guide agar bisa menggantikan.

"Saya bilang sama Mbak tour guide-nya kalau saya mau kuliah, saya pemulung, saya enggak punya uang buat kursus jadi saya mau jadi tour guide biar praktik langsung buat tes wawancara. Sambil becek-becek nyeker (tak beralas kaki, -red) saya keliling-keliling dan jelaskan tentang Jatinegara," kenang Wahyu.

"Bagaimana, Mister? Bahasa Inggris saya jelas enggak?" tanya dia waktu itu dan dijawab, "Oh iya, jelas," dalam bahasa Inggris pula.

Rasa percaya diri sedikit meningkat saat itu, tetapi Wahyu masih belum puas. Sedikit berdandan rapi, Wahyu pun memberanikan diri untuk menginjakkan kaki ke Pondok Indah Mall dan ke arena ice skating di Mall Taman Anggrek. Sekedar untuk bertemu bule.

Akhirnya dengan modal berbincamg dengan 3 orang asing, Wahyu lolos tes. Sukseslah dia menyandang status sebagai mahasiswa magister ITB.

Sejak kecil dia mengumpulkan uang untuk sekolah, dan kini dia sudah merengkuh magister. Semua itu berawal dari semangat dan karung yang selalu dipikul saat memulung.

"Ketika S2 ini pun prosesnya hampir sama, saya menyamar, saya sembunyikan identitas pemulung saya. Saya pakai baju bagus dibeliin kakak angkat saya, kak Muhammad Habsyi. Pas semester 2 baru mereka tahu saya pemulung dan mereka semua pada kaget," tutur Wahyu.

"Saya terbiasa dari kecil itu walau pun saya miskin, saya gembel, saya enggak mau orang-orang itu ngerendahin saya. Saya selalu menyembunyikan identitas saya, kalau saya sedih saya simpan sendiri kalau bahagia saya share ke orang-orang," ungkap dia melanjutkan.

Berceritalah dia bagaimana dahulu selalu menyembunyikan kartu tagihan SPP hingga S1 dari orang tua kandungnya. Disembunyikannya kartu itu di bawah bantal agar ibunya tak tahu bahwa biaya kuliah per semester adalah Rp 5.250.000.

"Kalau kartu bayaran itu engga boleh kasih tahu orang tua, harus taruh di bawah bantal sendiri, bayaran saya harus pusing sendiri, nangis sendiri, laporan ke guru BP izin setiap semester itu sudah biasa waktu kuliah di Uhamka. Tapi kalau saya dapat ranking, juara, terpilih jadi pemuda pelopor kota Bekasi itu saya share saya kasih tau Emak. 'Saya ranking loh, saya dapat juara ini loh Mak'," kata pemuda tersebut.

Ya, buah dari niat membahagiakan orang tua itu pun amat manis dikecapnya. Kini Wahyu hampir menyelesaikan jenjang magister di ITB.

Masih ingat dia ketika dahulu harus memulung mulai pukul 01.00 WIB sampai waktu subuh. Usai mandi dan berpakaian seragam, dia berjualan gorengam dan dititipkan di pos satpam.

Sepulang sekolah setelah istirahat sebentar dia kembali memulung hingga pukul 22.00 atau 23.00 WIB. Tak jarang Wahyu tidur hanya 2-3 jam di tumpukan karung hasil memulung.

"Setiap ke sekolah saya bawa balsam atau minyak kayu putih. Saya oleskan dekat mata supaya panas dan tidak mengantuk. Saya tidak mau ketinggalan pelajaran hanya karena tertidur. Saksinya adalah teman-teman SMA dan kebiasaan itu terus sampai saya kuliah S1," tutur Wahyu.

Di akhir 2013 bisa dibilang karier sebagai pemulung hampir berakhir. Dia mendapat modal dari seorang WNI di Australia sebesar Rp 4 juta yang kemudian dipakai untuk merintis usaha ternak entok (sejenis itik, -red).

"Setelah S2 saya mau ambil S3 gelar PhD ke luar negeri," ucap Wahyu sambil menyunggingkan senyumnya. [gi/det]

Sumber: DetikNews

Jumat, 26 Juni 2015

Tips Mengkhatamkan Al-qur’an di Bulan Ramadhan dan Keutamaanya

















Apakah menjadi sebuah keharusan mengkhatamkan Al-qur’an di bulan Ramadhan? Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an (Syahrul Qur’an). Di antara ayat yang membuktikan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Quran yaitu,
 شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ “
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran” (QS. Al Baqarah: 185). 
Ayat ini masih membicarakan puasa Ramadhan. 

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 « اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى شَهْرٍ » . قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً حَتَّى قَالَ « فَاقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ » 
“Bacalah (khatamkanlah) Al Quran dalam sebulan.” 
‘Abdullah bin ‘Amr lalu berkata, “Aku mampu menambah lebih dari itu.” Beliau pun bersabda, “Bacalah (khatamkanlah) Al Qur’an dalam tujuh hari, jangan lebih daripada itu.” (HR. Bukhari No. 5054). 
Bukhari membawakan judul Bab untuk hadits ini, 
باب فِى كَمْ يُقْرَأُ الْقُرْآنُ .وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) . 
“Bab Berapa Banyak Membaca Al Qur’an?”. 
Lalu beliau membawakan firman Allah, 
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ 
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” (QS. Al Muzammil: 20). 

Kata Ibnu Hajar bahwa yang dimaksud oleh Imam Bukhari dengan membawakan surat Al Muzammil ayat 20 di atas berarti bukan menunjukkan batasan bahwa satu bulan harus satu juz. 
Dalam riwayat Abu Daud dari jalur lain dari ‘Abdullah bin ‘Amr ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Berapa hari mesti mengkhatamkan Al Qur’an?” Beliau katakan 40 hari [artinya, satu hari bisa jadi kurang dari satu juz]. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab lagi, “Satu bulan.” [Artinya, satu hari bisa rata-rata mengkhatamkan satu juz] (Lihat Fathul Bari, 9: 95). 

Dan mengkhatamkan Al-Quran selama bulan Ramadhan bukanlah kewajiban, syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, ختم القرآن في رمضان للصائم ليس بأمر واجب ، ولكن ينبغي للإنسان في رمضان أن يكثر من قراءة القرآن “Mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa bukanlah perkara yang wajib. Akan tetapi sebaiknya seseorang memperbanyak membaca Al-Quran di bulan Ramadhan” (Majmu’ Fatawa wa Rasail 20/516)

Intinya semuanya tergantung kemudahan. Bagi yang mudah untuk mengkhatamkan Al Quran satu bulan penuh, silakan khatamkan. Bagi yang tidak mampu, tidaklah terkena dosa. 

Beberapa Kisah Para Ulama Khatam Al Quran di Ramadhan yang bisa dijadikan sumber motivasi dalam mengkhatamkan Al-Qur’an: 
1. Imam Al-aswad bin Yazid dulu mengkhatamkan membaca Al-Quran setiap enam malam, dan bila Ramadhan mengkhatamkan Al-Quran setiap dua malam. 
2. Imam Said bin Jubair juga mengkhatamkan tilawah Al-Quran dalam dua malam ketika Ramadhan. 
3. Imam Qatadah as-Sadusi biasa mengkhatamkan tilawah dalam satu pekan dan setiap tiga malam bila Ramadhan, dan khusus sepuluh hari terakhir khatam sekali di tiap malam. 
4. Imam Bukhari selama bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Quran sekali di waktu siang dan setelah tarawih membaca Al-Quran dan khatam setiap tiga malam.
5. Imam Asy-Syafi’i menurut muridnya, Imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman, biasa khatam Al-Quran sebanyak 30 kali setiap bulan dan 60 kali pada bulan Ramadhan. Bila kita telusuri kisah para ulama tersebut dalam membaca Al-Quran seolah jauh dari logika kita saat ini. Tapi memang demikianlah para ulama mengisi Ramadhan mereka penuh dengan ibadah yang istimewa. 

Dan inilah beberapa tips yang bisa diikuti bagi yang ingin mengkhatamkan Al Quran satu bulan penuh: 
Al Quran terdiri dari 30 juz, 1 Juz terdiri dari 20 halaman (10 lembar). 
1) Target mengkhatamkan Al-Qur’an minimal 1x. Caranya: sehabis tiap shalat 5 waktu untuk membaca 4 halaman (2 lembar). 1 hari bisa 1 juz yang didapatkan, sebulan bisa dapat 30 juz. 
2) Bila target ingin mengkhatamkan Al-Qur’an 2x maka setiap habis sholat fardhu membaca 8 halaman (4 lembar) Al-Quran. Demikian seterusnya tinggal mengalikan jumlah lembarnya. Ada juga yang tidak mentarget lembar, tapi memanfaatkan sesempat apapun waktu yang ada untuk membaca Al-Quran. Kita bisa memilih mana yang lebih sesuai. 

Agar rencana target itu berjalan mulus, ada baiknya perhatikan tips dan trik berikut ini: 
1. Jika karena kesibukan tak mampu untuk membaca Alquran setelah shalat fardhu, maka coba cari waktu luang karena yang tahu kesibukan dan waktu luang adalah diri kita sendiri. Yang pasti target khatam untuk setiap harinya tetap dilakukan, 1 juz untuk 1 khataman, 2 juz untuk 2 khataman, begitu kelipatannya. 
2. Saat sedang membaca Alquran jangan sering melihat jam. Karena melihat jam akan menggoyahkan niat. Tetap fokus pada target. Jangan juga membalik halaman yang belum dibaca. Dalam hati pasti terpikir "kurang berapa halaman lagi ya?" Hapus jauh-jauh pikiran itu! Nikmati saja pembacaan Alquran itu, jangan terburu-buru hingga membuat kita ingin cepat selesai. 
3. Jangan berpikir tak sempat. Pikiran tak sempat hanya akan membuat kita bermalas-malasan. Bukannya tak sempat, tapi sempatkanlah waktu kita! Jika kita berpikir sempatkanlah waktu kita, maka apapun kesibukan kita, kita akan menyempatkan diri untuk membaca Alquran sesuai rencana. 

Untuk memacu semangat kita dalam mengkhatamkan Al-Qur’an, berikut keutamaan membaca Al-Quran yang banyak dijelaskan, salah satunya adalah Sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam: 
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ 
“Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan “alif lam mim” satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf” ( HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469) 

Begitu juga Sabda beliau,
 مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ 
“Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam” ( HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468) 

Nah, itulah sedikit tips agar bisa mengkhatamkan pembacaan Alquran di bulan Ramadan. Kalau kita bisa betah untuk membaca status Facebook dan Twitter, kenapa membaca Al-Quran tidak? 

Semoga Allah memudahkan kita untuk menjadikan bulan Ramadhan sebagai syahrul quran (bulan Al Quran). Hanya Allah yang memberi taufik. 

Sumber: 
www.muslim.or.id 
www.quranpoin.com 
www.brilio.net